TANA TIDUNG – Berdasarkan data yang dimiliki Pemkab Tana Tidung, dari 40.000 hektare (ha) lahan tambak yang ada di Tana Tidung, 10.000 Ha di antaranya sudah tidak produktif lagi. Hal itu diyakini lantaran harga udang terus mengalami penurunan sehingga berdampak pada pendapatan.
Hal itu disampaikan Bupati Tana Tidung Ibrahim Ali saat menjadi narasumber Talk Show Catatan Kinclong Metode Silvofishery yang digelar Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) di Jakarta, Minggu (17/9).
Bupati mengatakan, izin tambak yang tidak produktif tersebut ke depannya akan dicabut. Karena itu, Bupati memerintahkan kepala dinas pertanian untuk menginventarisasi kembali dan mengevaluasi tambak yang sudah tidak produktif. Untuk selanjutnya melakukan reboisasi penanaman mangrove di lahan tersebut.
“Bagaimana menjaganya, tentunya pemerintah daerah akan berkolaborasi dengan BRGM, dengan aparat penegak hukum TNI Polri, untuk menjaga bersama sama,” kata Ibrahim Ali.
Karena menurutnya, beberapa tahun terakhir mangrove mulai seksi dibicarakan di dunia karena bisa mengikat CO2 atau emisi carbon dan carbon credit yang bisa mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Ini yang sekarang kita seriusi, di mana mana kepala daerah berpikir bagaimana bisa mendatangkan PAD,” ujar Ibrahim Ali.
Karena itu juga Bupati ia mengajak 10 kepala desa yang ada di pesisir mengikuti kegiatan di Jakarta. Agar ke depan proyek konservasi mangrove ini dihidupkan kembali.
Sebelumnya Kabupaten Tana Tidung mendapat kehormatan dari Presiden RI Joko Widodo melakukan penanaman mangrove di Bumi Upun Taka pada tahun 2021 lalu.
“Sampai sekarang tanaman beliau kita jaga dengan baik dan menjadi pilot project serta kebangaan Tana Tidung,” ujar Ibrahim Ali.
Langkah langkah yang dilakukan untuk mempercepat reboisasi mangrove utamanya di wilayah tambak, kata Bupati, memberikan edukasi kepada pelaku usaha tambak.
“Karena keberadaan mangrove sangat bermanfaat tidak hanya dapat mencegah cuaca eksrem tapi juga dapat meningkatkan produksi tambak,” kata Ibrahim Ali.
Selama ini, sambung Bupati, petambak beranggapan bahwa dalam budidaya tambak kanalnya harus bersih dari mangrove. “Manggrove itu menganggu budidaya udang di tambak, ternyata pemahaman itu salah,” ucap Ibrahim Ali.
“Nah ini harus kita edukasikan bahwa lahan tambak ditumbuhi mangrove baik yang ada di dalam maupun di luar tambak tidak mengganggu, sebaliknya memiliki nilai ekonomis,” sambung Ibrahim Ali.
Bicara data, tambak tidak ada mangrovenya menghasilkan 60 sampai 70 ekor dalam satu kilogram, sementara tambak yang terdapat mangrove bisa menghasilkan 30 sampai 40 ekor untuk timbangan satu kilogram.
“Misalnya, biasanya tidak ada mangrove hanya menghasilkan 700 kg dengan siklus per tiga bulan menjadi 1 ton sampai 1,5 ton dengan adan mangrove,” ungkap Ibrahim Ali.
Yang menjadi PR sekarang, lanjut Ibrahim Ali, bagaimana siklus panen para petambak bisa bersamaan seperti di Vietnam.
“Dari hasil diskusi saya dengan pelaku usaha tambak soal mangrove dan manfaatnya, salah satu yang menjadi pilot project adalah Vietnam,” ujar Ibrahim Ali.
Di Vietnam intervensi pemerintah terhadap petambak luar biasa, sehingga siklus panen petambak bisa dilakukan bersamaan.
“Kalau kami di KTT khususnya di Indonesia belum mengatur siklus tersebut, ini yang menjadi PR bersama,” ungkap Ibrahim Ali.
Karena itu, Ibrahim Ali, memerintahkan dinas terkait untuk fokus mengembangkan tambak yang ramah lingkungan, dan meningkatkan produksi.
“Yang menjadi PR kita juga bagaimana meningkatkan harga udang, tentunya kalau bicara hulunya, tentu kita juga bicara hilirnya dong,” jelas Ibrahim Ali.
Petambak sejahtera jika udang dihargai dengan harga ekonomis. “Kalau sekarang per hari ini harga rendah, sangat merugikan petambak dengan modal besar yang dikeluarkan, tapi ini kita tidak bisa bicara sendiri karena ada gubernur dan kementerian,” tutup Ibrahim Ali.(*)